Jumat, 30 Desember 2011

cerpen


Sajak KeadilanMu
           
Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pda diriku. Namaku Evi, aku anak tunggal di keluargaku. Meskipun begitu, aku tidak mau tergantung dengan orang tuaku. Bisa dibilang aku dari keluarga yang cukup mampu. Aku sedikit percaya dengan ramalan, ya mungkin 90% lah. Orang bilang hidupku enak, aku dibesarkan di keluarga yang cukup mampu, cantik, dan pintar. Tapi, mereka nggak tahu, apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku tertekan oleh diriku sendiri.
            Pagi itu, aku cukup bersemangat datang ke sekolah. Soalnya, hari itu waktu pembagian rapor sisipan. Aku biasa dapat lima besar di kelas dan aku yakin, aku akan mendapatkan peringkat itu lagi. Bu Nita, guru kelasku datang dan mulai mengumumkan hasil rapor kami.
            “Pagi, anak-anak!”salam Bu Nita
            “Pagi, Bu,” jawab murid-murid serentak
Bu Nita mulai memanggil nama anak-anak yang mendapat lima basar. Aku pun tambah berdebar.
            “Baik, Ibu akan mengumumkan peringkat lima besar. Dinda, Fasial, Arlin, Lia, dan Ryan.”
Bu Nita langsung meninggalkan kelas. Pada saat itu juga aku terpaku. Dalam hati aku bartanya,
            “Mana namaku? Nggak, nggak mungkin semua ini, nggak mungkin,”
Teman-teman mulai berbisik.
            “Eh, masak sih Evi nggak masuk?” bisik Anti (tapi tetap aja masih kedengaran)
            “Eh…Eh…iya masak sih nggak?” sahut yang lain.
Bel pulang pun berbunyi, aku sudah tidak kuat lagi mendengar bisik-bisik dari teman-teman. Aku langsung lari.
Di rumah aku masih berfikir, bagaimana caranya buat bilang ke Mama. Belum selesai berfikir, Eh…Mama sudah datang.
“Gimana Vi, hasilnya?”tanya Mama dengan wajah yang gembira.
“Em… gimana ya…? Em… gini Ma. Tadi sih rapornya sudah dibagi, tapi…”jelasku ragu.
“Loh kenapa? Kok kamu jadi ragu sih?”tanya Mama penasaran.
“Oh…oh…nggak kok Ma. Em…Ma…sebanarnya tadi hasilnya, Em…aku nggak dapat lima besar,”jelasku pelan.
“Oh…gitu ta…, udahlah nggak apa-apa, gitu aja dipikirin,”jawab Mama sambil pergi meninggalkanku.
Sebenarnya, aku sudah tahu kalau Mama akan bilang kayak gitu, dan ketika aku lihat, wajah Mama langsung merah, kayak mau nangis. Mama emang orangnya kayak gitu, baik…banget. Beliau nggak pernah maungebebanin aku. Tapi, aku Cuma ingin ngebanggain ortu aja. Mereka uadah ngeluarin uang banyak…banget, buat pendidikanku, les mandarinku, dan semua kebutuhanku. Masak sampai sebesar ini, aku belum bisa beri apa-apa buat mereka berdua.
Pagi harinya, Mama membangunkanku.
“Vi, bangun!”panggil Mama
“Ada apa Ma?”jawabku lemas, karena baru bangun.
“Ingat nggak, hari ini kan ada pengumuman dari beasiswa.”
“Oh ya!”jawabku, dan langsung meninggalkan Mama.
Pagi itu juga, aku segera pergi ke tempat pengumuman. Diantar oleh Pak Ahmad, supirku. Sesampainya di sana, aku langsung lari keluar dari mobil, dan masuk di kerumunan siswa-siswa lain yang ingin melihat pengumuman. Aku mencari namaku dari awal sampai akhir. Dan ternyata, apa yang aku dapat? Namaku tidak tertera di pengumuman itu.
“Ya Allah, inikah cobaanMu selanjutnya?”gumamku dlam hati sambil terpaku di depan pengumuman itu.
Aku pun langsung lari ke mobil dan menutup pintu dengan keras.
“Brukk!”
“Eh, Non, ada apa?”tanya Pak Ahmad agak sedikit kaget.
“Udah Pak, jalan aja!”perintahku, karena saat itu aku tidak mau berkata apapun.
Di rumah, Mama dan Papa menunggu di depan teras, sambil duduk. Mau nggak mau, aku harus duduk bersama mereka berdua.
“Gimana Vi, hasilnya?” tanya Papa sambil melipat korannya.
“Uh…aku nggak dapat Pa,”jawabku lirih.
“Ya, berarti itu bukan rezeki kamu,”jawab Papa singkat.
Tanpa berkata, aku langsung ke kamar.
“Ya Allah, inikah takdirku? Apakah aku dilahirkan hanya untuk mengecewakan orang tua? Ya Allah, kalau memang benarEngkau Tuhan Yang Maha Adil, tunjukkan keadilanMu Ya Allah!”pintaku dengan rasa yang amat kecewa.
Aku sangat kecewa, hingga pikiran dan perasaanku tidak karuan. Akupun langsung mengambil majalahku dan tidak sengaja membuka halaman ramalan zodiak bulan ini. Di situ tertulis untuk zodiakku: “Bulan ini, bukan bulan keberuntungan, banyak masalah yang akan menimpahmu. Dan jika kamu sakit, maka ajalmu sudah dekat.” Aku semakin tertekan dan langsung melempar majalah itu.
Hidupku suram, aku tidak bisa merasakan kegembiraan sedikitpun. Hari-hariku, kuhabiskan dengan berdo’a dan beribadah kepada Allah SWT. Aku hanya bisa berserah diri kepada-Nya. Mungkin, aku tidak bisa merasakan kegembiraan di dunia. Tapi, aku berharap bisa merasakan kegembiraan itu di akhirat.
Pagi harinya, Miss.Lee menelfonku, beliau adalah guru Bahasa Mandarinku. Aku disuruh datang ke tempat kursus. Ternyata, Lia juga diundang kesana.
“Vi, aku perhatiin, kamu kok kayak gak ada gairah gitu?”tanya Lia penasaran
“Nggak tahu nih, eh… kamu percaya nggak sama ramalan zodiak?”tanyaku buat mengalihkan pembicaraan
“Ya, percaya nggak percaya sih. Bisa dibilang 60% lah, emang kenapa?”tanya Lia ingin tahu     “Li, akhir-akhir ini, aku nggak bisa ngerasain kegembiraan, semua kayak datar,”jelasku sedikit
“Masak sih, tapi aku pernah baca, orang yang mau mendekati ajal biasanya kayak gitu. Kamu pasti baca yang di ramalan zodik itu kan? Udah nggak usah percaya,” tutur Lia
“Lia, Evi, ayo masuk!”panggil Miss.Lee, memotong pembicaraan kami
“Kemarin Miss dapat undangan dari Jakarta, untuk ngirim presenter buat acara pesta tahun baru. Ibu nunjuk kalian berdua saja, mau kan?”ajak Miss Lee
“Iya…iya…Miss, kami mau kok. Iya kan Evi?” jawab Lia, sambil memegang tanganku
”Apa?Terserah…?”jawabku santai
Setiap hari, aku pergi ke tempat kursus buat latihan, tanpa memberi tahu Mama Papa. Aku nggak mau aja Mama Papa berharap banyak, terus aku ngecewain mereka berdua lagi. Sehari sebelum pergi ke Jakarta, aku baru bilang ke Mama Papa. Kebetulan beliau berdua ada di ruang tamu.
“Pagi, Ma…Pa…!” sapaku dengan ceriah
“Pagi, sayang…!”jawab Mama
“Ma, sebenarnya besok aku mau ke Jakarta, soalnya aku di suruh Miss Lee buat jadi presenter acara pesta tahun baru,” ceritaku
“Itu berita bagus, kapan?”sahut Papa
“Besok!”
“Loh, kok mendadaka banget sih?”tanya Mama
“Udahlah Ma, gimana boleh kan?”rayuku
“Ya, pasti boleh lah,”tambah Papa dengan wajah senang
Keesokan harinya, aku menunggu mobil Miss Leeyang mau mengantar ke bandara. Sambil berharap, apakah kali ini aku bisa membanggakan ortu. Satu jam kemudian, mobil Miss Lee datang dengan Lia.
“Tin…Tin…”mobil Miss Lee datang
Aku langsung masuk. Tidak lama kemudian kami suadah sampai di bandara. Karena memang sudah telat, tidak usah menunggu, kami bisa langsung masuk ke pesawat.
Setelah sampai di bandara, ada mobil yang menjemput untuk ke tempat tujuan. Malam harinya, pesta pun dimulai. Hatiku berdebar luar biasa. Akhirnya, aku dan Lia harus naik panggung untuk memandu acara. Tiga jam kemudian, acara sudah selesai. Tiba-tiba, Pak Anton direktur utama perusahaan itu, memanggilku dan Lia.
“Ada apa Pak?”tanyaku heran
“Tadi saya lihat, kemampuan bahasa mandarin kalian sangat bagus,” puji Pak Anton
“Ndak lah Pak,”jawab Lia malu
“Sesampai di rumah nanti, bialng ya ke orang tua kalian. Perusahaan kami akan memberi kalian berdua beasiswa S1,”jelas Pak Anton
“Apa!ye…,”teriakku
“Ini suratnya”
“Terima kasih banyak Pak,”kata Lia
Keesokan harinya, kami sudah sampai di Surabaya. Aku sudah tidak sabar untuk memberi tahu Mama Papa. Beliau berdua sudah menunggu di ruang tamu.
“Mama…Papa…,”teriakku
“Eh, sudah datang,”jawab Mama
“Aku punya berita baik loh…? Kemarin Pak Anton, direktur utama perusahaan itu memberiku beasiswa S1, ini suratnya,” ceritaku, sambil memberikan surat itu ke Mama
“Yang benar kamu, kamu nggak bercanda kan?” tanya Papa
“Pa, lihat deh surat ini. Ini benar,”kata Mama dengan senang
“Papa bangga punya anak seperti kamu,”tambah Papa
Aku tersenyum, wajah Mama Papa tampak senang banget. Dalam hati aku berkata,
“Terima kasih Ya Allah,telah menunjukkan kebesaranMu.”